DERETAN rumah dua lantai itu terlihat mentereng. Meski sudah kuno, kesan mewah di masa lalu masih terasa.
Ah, rasanya tak puas-puasnya mata ini memandangi rumah-rumah dengan pilar yang besar, pintu dan jendela tinggi, serta lantai ubin. Sebagian bangunan dirawat seadanya. Namun, sebagian lainnya tampak kinclong. ”Dirawat dengan biaya sendiri,” kata Nasir Dimyati (64).
Nasir tinggal di rumah besar bercat putih dengan daun pintu warna merah itu. Ada gerbang kecil di halaman dengan tulisan ”H Djaenoedin BH Oemar” di atasnya. Tulisan itu menjelaskan pemilik rumah ini, yang bernama Haji Djaenoedin bin Haji Oemar, adalah pengusaha kulit tenar pada zamannya.
Rumah-rumah itu ada di Kampung Kemasan, Gresik, Jawa Timur. Lokasinya tak jauh dari alun-alun Gresik, tepatnya di Jalan Nyai Ageng Arem-arem, Gang III, Kelurahan Pakelingan.
Nasir menempati rumah itu bersama istrinya—keturunan Djaenoedin bin Haji Oemar—dan anak-anaknya sejak tahun 1972. Rumah berdinding bata dengan lantai ubin itu memiliki sejumlah jendela besar. Di dalam rumah yang luasnya sekitar 800 meter persegi itu terasa sejuk. Rumah itu berdiri di lahan seluas 1.000 meter persegi.
Merujuk pada Buku Grissee Tempo Doeloe karya Dukut Imam Widodo dan kawan-kawan, pada zaman itu, penghuni Kampung Kemasan kaya raya. Mereka ingin menunjukkan kekayaan tersebut dengan membangun rumah yang megah.
Gresik—yang dalam ejaan Van Ophuysen ditulis sebagai Grissee—pernah sangat jaya pada masa lalu karena pelabuhannya. Namun, sejak 1911, bersamaan dengan selesainya pembangunan Pelabuhan Soerabaia (kemudian dikenal sebagai Tanjung Perak), masa jaya Gresik surut. Kapal lebih suka berlabuh di Tanjung Perak yang lebih modern.
Salah satu peninggalan masa jaya Gresik itu pula yang tercermin di Kampung Kemasan. Rumah-rumah besar yang jendela dan pintunya didominasi warna merah itu bagaikan memanggil-manggil untuk didatangi.
Nasir mengakui, beberapa waktu terakhir ini Kampung Kemasan sudah menjadi tujuan wisata minat khusus. Istilahnya, wisata Kota Tua. Tak hanya wisatawan dari Gresik dan kota-kota sekitarnya, tetapi juga wisatawan asing datang ke Kampung Kemasan.
Umumnya, wisatawan yang datang ke Kampung Kemasan adalah wisatawan yang meminati sejarah atau fotografi. Namun, ada juga yang memiliki kenangan khusus dengan kota Gresik.
”Bagi saya, tidak masalah jadi daerah wisata heritage. Justru kami senang sekali,” kata Nasir.
Sejauh ini, kesadaran Nasir terhadap keaslian bangunan cukup besar. Ia tak pernah mengubah-ubah bentuk dan warna bangunan. Sejak dulu sampai sekarang, rumah itu berdinding putih dengan pintu dan jendela warna merah.
Jendela palsu
Dinding di lantai dua rumah-rumah di Kampung Kemasan umumnya memiliki jendela. Lengkap dengan daun jendela yang juga didominasi warna merah.
Namun, jangan salah, banyak dari jendela itu yang palsu!
Palsu, karena sebenarnya di baliknya tidak ada lubang jendela. Hanya ada dinding bata, dengan tempelan daun jendela di luarnya.
Mengapa demikian? Rupanya untuk mengelabui pencuri. Hmmm, bisa dibayangkan bagaimana dongkolnya si pencuri yang sudah berusaha keras mencongkel daun jendela di lantai dua, tapi kemudian hanya menemukan tembok tebal di baliknya….
Oemar Zaenuddin, budayawan Gresik yang juga keturunan Djaenoedin bin Haji Oemar, mengisahkan, awal mulanya di kampung itu tinggal seorang perajin emas bernama Bak Liong. Kemahirannya terkenal di seantero Gresik, bahkan membuat nama kampung berubah menjadi Kemasan.
Namun, sepeninggal Bak Liong, kampung itu tak terurus. Haji Oemar, pemilik usaha penyamakan kulit, membeli rumah di kawasan itu sekitar tahun 1855. Berikutnya, ia membangun beberapa rumah di gang sepanjang 200 meter itu. Anak-anaknya pun tinggal di rumah-rumah tersebut.
Usaha kulit yang mengalami masa keemasan pada 1896-1916 tersebut terkenal hingga ke kota-kota besar di Pulau Jawa. Bahkan, dari kertas tanda pembayaran yang ditunjukkan Oemar Zaenuddin kepada kami, pelanggannya ada juga pemilik toko di kawasan Pasar Baru, Jakarta.
”Selain usaha kulit, Haji Oemar juga punya usaha sarang burung walet,” kata Zaenuddin yang akrab disapa Cak Nud ini.
Lantai dua setiap rumah yang ada di gang Kampung Kemasan itu disediakan untuk burung walet agar mampir dan membuat sarang dari air liur mereka. Harga sarang burung walet di pasaran sangat mahal. Pantas saja sampai disediakan jendela palsu untuk mengelabui pencuri.
Perihal Kampung Kemasan yang dijadikan tujuan wisata, Cak Nud mengaku senang. Dengan semakin banyak wisatawan yang datang, maka kesadaran untuk menjaga Kampung Kemasan semakin tinggi. Nilai-nilai sejarahnya juga makin terungkap. Begitu pula masa kejayaan Gresik, bisa semakin tersingkap.
Sudah pernahkah ke Gresik? Jika suatu saat Anda ke Kota Gresik, mampir saja ke Kampung Kemasan. Siapkan kamera dan waktu yang cukup. Juga, siapkan diri untuk mengagumi rumah- rumah lama di situ.
Jalan-jalan, yuk!