
Sejak akhir abad 19 lereng berhawa dingin di kaki Gunung Tambora dijadikan lahan perkebunan kopi. Hingga kini kopi Tambora terus memesona karena kenikmatan rasanya. Kehidupan di Dusun Pancasila, tempat Tim Adventure bermalam, juga terpaut erat dengan perkebunan kopi. Selain menjadi guide dan porter, kebanyakan penduduknya bekerja di ladang-ladang kopi di sekeliling dusun.
Menurut Saiful Bahri, pengelola Tambora Trekking Centre sekaligus Koordinator Kelompok Pencinta Alam Tambora (K-PATA), tanaman kopi dipanen sekali setahun. Biasanya pada Juni. Di luar kopi, warga juga menanam padi musiman yang dipanen setahun sekali atau menggembala sapi.Namun, tidak selalu panen kopi menandakan kemakmuran. “Masalahnya, warga kerap meminjam uang dulu untuk membiayai keluarga. Jadi dari hasil satu ton panen kopi misalnya, setengahnya bisa habis dipakai membayar utang,” kata Saiful.
Dari catatan sejarah, pada 1701 kerajaan-kerajaan di Pulau Sumbawa meneken kontrak persahabatan dengan Belanda. Area Gunung Tambora yang menjadi lokasi tiga kerajaan, yaitu Sanggar,Tambora dan Pekat, pada masa itu menjadi sentral perkebunan kopi Belanda.Dikatakan As’ad, Peneliti Lembaga Kearifan Lokal Indonesia, pascaletusan Tambora di 1815, tidak ada kelanjutan kehidupan karena tidak ada yang kelihatan secara fisik di lapangan. Arsip-arsip pemerintahan sebagai kelanjutan pemerintahan kerajaan Tambora dan Pekat pun tidak mereka temukan.
“Baru lah 20 tahun kemudian, 14 Agustus 1835 Belanda kembali melakukan kontrak kebun kopi di Tambora,” ujarnya. Penandatanganan kontrak kebun kopi Kerajaan Sanggar dan Dompu, kedua kali berlangsung di Makassar, 7 September 1893 seluas 10 ribu hekatare, dan ikut didukung kerajaan Sumbawa dan Bima. Kelak, pada 1930, Swede G Bjorklund dengan perusahaannya membuka areal perkebunan kopi baru di lereng barat laut Gunung Tambora. Perkebunan itu
kemudian menjadi cikal bakal titik awal pendakian Tambora era moderen.
Popularitas kopi Tambora juga dimanfaatkan warga Kota Bima yang bergabung dalam Komunitas Babuju. Berbeda dengan sebagian orang Indonesia yang menikmati kopi murni, kata Amir As, penggiat komunitas tersebut, masyarakat Bima menyukai kopi campuran.Mereka secara swadaya mengolah kopi lalu mencampurnya dengan jahe, beras ketan, dan kelapa sehingga memiliki cita rasa khas. Kini, komunitas tersebut mencoba mengangkat aktivitas rumah tangga itu menjadi usaha komersil.
“Orang Bima biasa mencampur kopi sendiri, baru kami saat ini yang mencoba komersil,” ucapnya. Tidak kurang dari 100 kilogram biji kopi merah yang diolah setiap bulan dengan melibatkan tenaga mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi di Bima. Adapun biji kopi yang digunakan berasal dari perkebunan di Tambora. Perbandingan antara kopi dan campuran beras, kelapa, dan jahe, beragam mulai dari 1:1 sampai 1:3. Hasil produk yang dinamai Cita Rasa Dou Mbojo sebutan untuk Suku Bima– itu lantas dijadikan oleh-oleh khas Kota Bima. Dibungkus dalam kotak kertas berwarna coklat yang dibubuhi tulisan sejarah penanaman kopi di Tambora.”Rasanya memang unik dan sesuai dengan kebiasaan warga Bima yang menjadikan kopi campur sebagai pengganti nasi untuk sarapan,”.
Membahas Kopi ,mari kita bahas masalah pengemasannya.Karena kemasan adalah gerbang awal yang membuat konsumen jatuh cinta pada suatu produk. Mengenai mesin pengemas kopi silahkan klik.