Evolusi Kebijakan Gula Di Indonesia

Sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok masyarakat Indonesia, kebutuhan gula dalam negeri terus mengalami fluktuasi. Karena itu, kebijakan gula hingga saat ini masih menjadi salah satu bagian dari kebijakan strategis pangan nasional. Tidak hanya bagaimana kebutuhan gula dapat terpenuhi, yang juga tidak kalah pentingnya adalah kebijakan industri gula dalam negeri yang sepenuhnya bisa memenuhi kebutuhan tersebut.

Pengembangan industri gula di Indonesia yang sudah dimulai semenjak abad ke 17, terus mengalami pasang surut. Bahkan pasca program nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda di tahun 1950an, tidak serta merta menjadikan gula produksi dalam negeri menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Celakanya, dalam perjalanannya hingga saat ini, kekurangan pemenuhan kebutuhan gula dalam negeri juga harus ditopang melalui kebijakan impor gula.

Kebijakan impor gula di Indonesia bermula dari dikeluarkannya UU No.19 Tahun 1960 Tentang Perusahaan Negara dan PP No.141 Tahun 1961 Tentang Pendirian Badan Pimpinan Umum Perusahaan Perkebunan Negara. Kedua kebijakan tersebut kemudian dinilai telah menyebabkan pemisahan vertikal, dari sebelumnya yang ketika masih dikuasai Belanda, struktur industri gula masih terintegrasi secara vertikal.

Terjadinya inefisiensi produksi di pabrik gula serta lemahnya manajemen pemasaran telah mengakibatkan penjualan menjadi terhambat. Di satu sisi, terjadi penumpukan produksi di pabrik gula dan tidak turunnya anggaran untuk membayar gaji dan sewa lahan petani. Sebagai akibat lanjutnya adalah terjadinya stagnasi dalam industri gula dan pada saat yang bersamaan terjadi kenaikan konsumsi gula di masyarakat(lngesti, Distribusi Dan Kebijakan Impor Gula Di Indonesia, 2010).

Memasuki pemerintahan Orde Baru di tahun 1967, sebagai reaksi atas harga kebutuhan pokok (termasuk gula) yang melambung tinggi, pemerintah yang baru berkuasa kemudian mengeluarkan kebijakan untuk mengimpor gula. Pemerintah kemudian juga membentuk 8 Perusahaan Negara Perkebunan Gula (PNPG). Masing-masing perusahaan tersebut mengelola antara 4-7 pabrik gula.

Sedangkan untuk pemasarannya, dibentuk Badan Pemasaran Gula (BPG). Gagalnya BPG dalam menjalankan tugasnya, menyebabkan presiden mengeluarkan Surat Keputusan tanggal 13 Januari 1969. Surat ini mengatur mengenai pembagian tugas antar departemen terkait kebijakan gula, yaitu Departemen Pertanian dan  Departemen Perdagangan. Departemen Perdagangan kemudian mengeluarkan kebijakan untuk menunjuk 4 perusahaan swasta untuk pemasaran gula. Dominasi pemasaran gula oleh 4 perusahaan tersebut justru semakin menjadikan harga gula tak terkendali.

Pada tahun 1971, dikeluarkan Keppres No.43 Tahun 1971 yang menjadikan Bulog sebagai satu-satunya lembaga yang dapat mendistribusikan dan memasarkan gula di Indonesia. Bulog selanjutnya membuat sistem buka-tutup yang bertujuan untuk mengendalikan jumlah pasokan agar sesuai dengan jumlah permintaan.

Salah satu mekanisme yang diterapkan adalah operasi pasar. Sayangnya, sistem buka tutup ini kemudian menimbulkan berbagai masalah. Beberapa permasalahan yang muncul diantaranya adalah terjadinya praktik rentseeking dan indikasi korupsi di tubuh BULOG(lngesti, Distribusi Dan Kebijakan Impor Gula Di Indonesia, 2010)

Selama pemerintahan Orde Baru, kebijakan distribusi dan impor gula dilakukan dengan memberikan hak monopoli impor kepada Bulog. Sebagai bagian dari empat komoditas pangan utama, gula bersama beras, jagung dan kedelai; pemerintah ketika itu mencoba terus mengendalikan pasokan gula di dalam negeri. Hal itu dilakukan sebagai bagian strategi kebijakan pengendalian/stabilisasi harga pangan domestik, yang tujuan akhirnya adalah tercapainya swasembada pangan. Sebagai bagian dari deregulasi bulan Juni tahun 1994 (Pakjun), pemerintah ketika itu juga menghapus bea masuk gula menjadi 0%.

Akibatnya, gula impor mulai merajai pasar domestik. Sementara itu, pada saat yang bersamaan, produktivitas pabrik gula domestik tidak menunjukkan peningkatan yang signifikan.

Terjadinya krisis ekonomi di tahun 1998 yang diikuti oleh masuknya International Monetary Fund (IMF) mengakibatkan hak monopoli tersebut dicabut. Melalui penandatanganan letter of intent (LoI) tanggal 5 Januari 1998 disepakati bahwa pemerintah menghapuskan bea masuk atas komoditas gula serta sekaligus mencabut monopoli atas gula dan beras oleh Bulog. LoI ini juga “diperkuat” dengan dikeluarkannya SK Menperindag Nomor 25/MPP/Kep/1/1998 tentang Lembaga-lembaga Usaha Perdagangan, yang sekaligus mengizinkan para importir umum mengimpor gula dengan bea masuk 0%.

Mulai saat itulah, para importir umum dapat melakukan impor gula. Pada saat yang bersamaan, industri gula domestik dipaksa guna dapat bersaing dengan gula impor. Pemerintah ketika itu juga memberikan keleluasaan kepada para petani tebu untuk bisa menjual hasil panennya langsung ke pabrik gula manapun tanpa harus melalui Bulog (Widiastuty & Haryadi, 2001). Akibatnya, terjadi banjir gula di pasar domestik.

Terjadinya banjir gula tersebut pada akhirnya semakin menyebabkan harga gula di pasar dalam negeri terlalu murah. Hal inilah yang menyebabkan reaksi dari pabrik gula. Sebagai langkah kebijakan lanjutannya, pemerintah melalui Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan (Kepmenperindag)  Nomor 230/MPP/Kep/6/1999 tentang Pencabutan Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor 505/MPP/Kep/10/1998 tentang Perdagangan dan Distribusi Minyak Goreng dan Gula Pasir. Keputusan ini dikeluarkan dengan tujuan menciptakan iklim perdagangan yang berorientasi pasar (Nainggolan, Kebijakan Gula Nasional Dan Persaingan Global, 2005).

Pada 5 Agustus 1999, dikeluarkan Keputusan Menperindag Nomor 364/MPP/Kep/8/1999 Tentang Tata Niaga Gula. Keputusan tersebut membatasi jumlah importir gula yang hanya diberikan pada importir produsen terdaftar (Departemen Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia, 1999). Harapannya, pembatasan pasokan gula impor dalam negeri dapat dikendalikan tanpa harus mengenakan beban tarif.

Kebijakan tersebut dicabut melalui Keputusan Menperindag Nomor 717/12/1999 yang memberikan lagi izin bagi importir umum melakukan impor atas komoditas gula. Pada saat yang bersamaan, dikeluarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 568/12/1999 yang memberlakukan bea masuk atas gula masing-masing sebesar 20% untuk gula tebu dan 25% untuk gula bit.

Kebijakan ini mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari 2000 (Nainggolan, Kebijakan Gula Nasional dan Persaingan Global, 2005). Akan tetapi, gula mentah masih dibebaskan bea masuk (0%), sebagaimana diatur dalam SK Menteri Keuangan No. 301 Tahun 2000. Celah inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh importir untuk memasukkan gula secara masif.

Terjadinya penurunan harga gula di pasar internasional semenjak tahun 2002 memaksa pemerintah mengeluarkan kebijakan untuk mengendalikan impor gula. Menteri Perindustrian dan Perdagangan kemudian mengeluarkan SK Nomor 141/MPP/Kep/3/2002 tentang Nomor Pengenal Impor Khusus (NPIK) yang mengatur, hanya importir terdaftar dengan NPIK yang dapat melakukan impor gula.

Kebijakan ini kemudian diikuti dengan dikeluarkannya SK Menperindag Nomor 456/6/2002 yang mengatur bahwa impor gula mentah (raw sugar) hanya dapat dilakukan importir produsen. Sementara itu, besaran bea masuk gula mentah ditetapkan sebesar Rp550 per kilogram dan Rp700 per kilogram untuk gula putih. Besaran bea masuk tersebut diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 324/7/2002.

Bentuk pembatasan lain untuk impor gula adalah membatasi pemberian izin impor gula putih hanya kepada importir produsen terdaftar yang bahan bakunya 75% berasal dari petani. Kebijakan ini dituangkan dalam Keputusan Menperindag No.643/9/2002. Alasan utama dikeluarkannya kebijakan ini adalah besarnya potensi penyelundupan akibat sulitnya pengawasan impor (lngesti, Distribusi Dan Kebijakan Impor Gula Di Indonesia, 2010).

Pada tahun 2004 dikeluarkan Keppres Nomor 57 yang menjadikan gula sebagai barang yang dalam pengawasan. Keppres ini kemudian dilengkapi dengan Keppres nomor 58 yang mengatur tentang penanganan gula yang diimpor secara tidak sah. Dalam perjalanannya, dikeluarkanlah Peraturan Menteri Keuangan  Nomor 591/PMK.010/2004 yang mengatur besaran tarif impor gula tahun 2005-2010 dalam pola khusus, yaitu 30% untuk gula mentah dan 40% untuk gula putih. Peraturan tersebut dilengkapi Peraturan Menteri Keuangan Nomor 600/PMK.010/2004 yang menetapkan bea masuk gula mentah menjadi Rp550 per kilogram dan gula putih sebesar Rp790 per kilogram.

Sebagai upaya menjaga stabilitas pasokan gula domestik, pemerintah pada 2009 kembali menurunkan tarif bea masuk untuk gula rafinasi dan gula mentah. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 150/PMK. 011/2009 tertanggal 24 September 2009, ditetapkan bea masuk gula putih/rafinasi turun 49,4% menjadi Rp400 per kilogram dari sebelumnya Rp 790 per kg. Sementara itu, gula mentah turun 72% dari Rp550 per kg menjadi Rp150 per kg (Jupriansyah, 2010).

Pada Februari 2009, Departemen Perdagangan kemudian mengeluarkan penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula rafinasi melalui surat edaran Menteri Perdagangan kepada produsen gula rafinasi Nomor 111/M-DAG/2/2009. Dalam siaran pers Departemen Perdagangan tanggal 10 Februari 2009 disebutkan, ada lima petunjuk teknis penyempurnaan petunjuk pendistribusian gula rafinasi, sebagai berikut (Pusat Humas Departemen Perdagangan, 2009):

  1. Distributor harus ditunjuk resmi oleh produsen gula rafinasi, demikian pula subdistributor ditunjuk resmi oleh distributor. Nama distributor dan subdistributor yang ditunjuk wajib disampaikan ke dinas yang bertanggung jawab di bidang perdagangan tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Distributor dan subdistributor yang tidak memiliki penunjukan resmi tidak diperbolehkan untuk menyalurkan/mendistribusikan gula rafinasi.
  2. Produsen, distributor, dan sub distributor dapat menjual gula rafinasi langsung kepada industri pengguna serta tetap dalam kemasan karung dan tidak diperbolehkan dikemas dalam bentuk kiloan.
  3. Terkait kemasan, kemasan karung gula rafinasi wajib mencantumkan nama produk Gula Kristal Rafinasi (GKR); hanya untuk kebutuhan industri; menggunakan tanda SNI; berat bersih dan nama produsen.
  4. Berkaitan dengan pengaturan kualitas GKR yang harus disesuaikan dengan SNI, yaitu Mutu I (satu) maksimal dengan Icumsa45 dan Mutu II (dua) maksimal dengan Icumsa 80. Hal ini mengacu pada Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 83/M-IND/PER/11/2008 tanggal 13 November 2008.
  5. Kelengkapan dokumen yang harus ditunjukkan industri pengguna agar dapat membeli GKR, antara lain dokumen-dokumen sebagai berikut (1) Izin Usaha Industri (IUI) untuk Industri skala Besar-Menengah; (2) Tanda Daftar Industri (TDI) untuk Industri skala kecil; dan (3) Surat keterangan dari RT/RW yang diketahui oleh lurah setempat bagi Industri Kecil (IK) dan industri rumah tangga (IRT).

Penyempurnaan ini dilakukan dalam rangka (1) Memberi kepastian dan kejelasan bagi semua pihak yang terlibat perihal distribusi gula rafinasi yang sesuai dengan kebijakan pemerintah, sehingga tidak mengganggu penyaluran gula rafinasi sesuai peruntukan, yaitu untuk industri, dan juga tidak mengganggu pasar gula kristal putih; (2) Agar produsen gula rafinasi, distributor di semua lini, perusahaan makanan dan minuman (menengah, UKM dan industri rumah tangga), dan aparat pengawasan mempunyai pemahaman yang sama mengenai sistem distribusi yang berlaku (Sri Wahyuni, 2009).

Dalam perjalanannya, hasil verifikasi yang dilakukan Kementerian Perdagangan pada 2014 menunjukkan, jumlah gula rafinasi yang disalurkan 11 produsen pada periode Januari- Juli 2014 sebesar 1,7 juta ton. Jumlah yang disalurkan kepada industri makanan dan minuman sebesar 1,588 juta ton (88,84%). Sisanya yang sebesar 199.500 ton (11,16 %) terindikasi tidak sesuai peruntukan (Suryowati, 2015).

Karena itu, kemudian dikeluarkan surat Menteri Perdagangan Nomor 1300/M-DAG/SD/12/2014. Surat ini ditujukan kepada 11 Produsen Gula Rafinasi. Dalam surat tersebut diatur bahwa basis persetujuan impor gula mentah didasarkan rantai pasok dan mekanisme kontrak antara industri rafinasi dengan industri makanan dan minuman sesuai rekomendasi dari Kementerian Perindustrian ke Kementerian Perdagangan. Persetujuan impor kepada pabrik gula rafinasi akan diberikan pada tiap triwulan, dan akan dilakukan evaluasi untuk pemberian izin triwulan berikutnya (Suryowati, 2015).

Tujuan surat tersebut adalah mencegah gula rafinasi masuk ke pasar konsumsi, khususnya rumah tangga. Dikhawatirkan jika hal ini terjadi, akan menyebabkan terganggunya pasokan untuk industri makanan dan minuman.

Tanggal 23 Desember 2015, Kementerian Perdagangan mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan No. 117/M-DAG/PER/12/2015 yang mengatur tentang ketentuan dan pembatasan impor gula. Dalam peraturan tersebut, pemerintah mengatur agar gula rafinasi dilarang masuk ke pasar eceran. Dalam Pasal 9 Ayat 2 disebutkan, gula kristal rafinasi hasil industri yang dimiliki perusahaan pemilik API-P (angka pengenal impor produsen) yang sumber bahan bakunya berupa gula kristal mentah atau gula kasar hanya dapat diperdagangkan atau didistribusikan kepada industri dan dilarang diperdagangkan ke pasar di dalam negeri (Helen, 2016). Meski demikian, kebijakan tersebut ternyata belum dapat menyelesaikan persoalan masuknya gula rafinasi ke pasar eceran.

Mesin Pengemas Gula Pasir Otomatis

 

Sumber

Tinggalkan komentar